Assalaamu'Alaikum Wr. Wb.

Selamat datang Di MTs. Negeri Slawi Kabupaten Tegal, Menyiapkan generasi muda beriman, berilmu, beramal dan berakhlak.

Ustadz Pilihan

Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan mumpuni, siap meluangkan waktu untuk membantu siswa-siswinya.

Praktek Mengurus Jenazah

Siswa-siswi dilatih untuk mengurus jenazah, dari memandikan, mengkafani, menyolati dan mengubur jenajah.

Latihan Manasik Haji

Pemahaman keagamaan dilakukan melalui teori dan kegiatan praktikum.

Kegiatan Ekstrakurikuler

Berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler dan keagamaan, untuk menjaga ketahanan phisik dan mental siswa.

Drum Band MTsN Slawi

Drum Band MTs. Negeri Slawi selalu berkiprah dalam setiap perayaan HUT Kemerdekaan RI dan even-even lain.

Pramuka MTsN Slawi

Pramuka MTs. Negeri Slawi membekali para siswa keterampilan sosial dan jiwa patriotisme.

Prestasi Siswa

Memberi kesempatan siswa untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan keterampilan yang dimiliki.

Bording School

Program baru, Bording School akan dibuka pada Tahun Pelajaran 2016/2017.

29/06/10

Album



Praktik Manasik Haji siswa-siswi MTsN Slawi dalam rangka memberikan bekal pengetahuan dan pemahaman tentang magaimana pelaksanaan ibadah haji.


24/06/10

Fungsi dan Tujuan Pembelajaran Tematik

Pembelajaran dengan menggunakan tema berfungsi untuk memberikan kemudahan bagi siswa dalam memahami dan mendalami konsep materi yang tergabung dalam tema serta menambah semangat karena materi yang dipelajari merupakan materi yang nyata dan bermakna serta dikenal oleh anak.

Pemilihan dalam pembelajaran tema bertujuan agar supaya anak dapat:
1. Mudah memusatkan perhatian pada satu tema atau topik tertentu;
2. Mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi mata pelajaran dalam tema yang sama;
3. Memiliki pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan;
4. Mengembangkan kompetensi berbahasa lebih baik dengan mengaitkan berbagai mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi anak;
5. Lebih bergairah belajar, karena mereka dapat berkomunikasi dalam situasi yang nyata seperti: bertanya, bercerita, menulis, sekaligus mempelajari mata pelajaran yang lain;
6. Lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi yang disajikan dalam konteks tema yang jelas;
7. Guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara terpadu dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam 2 atau 3 kali pertemuan bahkan lebih dan/atau pengayaan;
8. Budi pekerti dan moral anak dapat ditumbuhkan dengan mengangkat sejumlah nilai budi pekerti sesuai dengan situasi dan kondisi.

Ciri-ciri Pembelajaran Tematik
Pembelajaran terpadu memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut :
1. Berpusat pada anak;
2. Memberikan pengalaman langsung pada anak;
3. Pemisahan antara bidang studi/mata pelajaran dalam tidak begitu jelas;
4. Menyajikan konsep dari berbagai bidang studi/mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran;
5. Bersifat luwes;
6. Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak.

Kekuatan Tema Dalam Proses Pembelajaran
Pembelajaran terpadu memiliki kekuatan antara lain:
1. Memberikan pengalaman dan kegiatan belajar mengajar yang relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak;
2. Menyenangkan karena bertolak dari minat dan kebutuhan anak;
3. Hasil belajar dapat bertahan lama karena lebih berkesan dan bermakna;
4. Mengembangkan keterampilan berpikir anak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi
5. Menumbuhkan keterampilan sosial dalam bekerja sama;
6. Memiliki sikap toleransi, komunikasi dan tanggap terhadap gagasan oranglain artinya respek terhadap gagasan orang lain.
7. Menyajikan kegiatan yang bersifat pragmatis sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui dalam lingkungan anak.

Peran Tema Dalam Proses pembelajaran
Tema berperan sebagai pemersatu kegiatan yang memadukan beberapa mata pelajaran sekaligus, dengan membuat pembelajaran tematik, yaitu terpadu antara kelompok mata pelajaran Agama (Akhlak Mulia/Budi Pekerti/Tata krama), Pendidikan Kewarganegaraan dan Kepribadian, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang terdiri dari: (Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu Pengetahuan Alam), Estetika (Seni Budaya – Keterampilan), dan Jasmani dan Olah Raga dan kesehatan.
Khusus untuk mata pelajaran agama, tidak diberikan contoh perpaduan dalam tematik, dikarenakan di Indonesia ada beberapa agama yang diakui (Islam, Katolik dan Protestan, Hindu dan Budha), maka harapan penulis agar sekolah menyesuaikan dengan karakteristik keagamaannya masing-masing. Dan khusus untuk mata pelajaran agama ini disarankan agar guru kelas dapat berkoordinasi dengan guru agama dan juga guru olah raga untuk bersama-sama membuat kesepakatan mana-mana indikator yang akan dibelajarkan bersama-sama dalam naungan tema dan mana yang akan dibelajarkan oleh guru agama dan guru olah raga.

Penyepakatan ini mengacu pada bobot penyajian sebagaimana yang tertuang di dalam ketentuan Kerangka Dasar Kurikulum yang disebutkan: 15% untuk Agama, 50% untuk Calistung (baca, tulis dan hitung), 35% untuk Pendidikan Kewarganegaraan dan Kepribadian, Iptek (Bahasa, IPA, IPS dan Matematika), Estetika, Olah Raga dan Kesehatan

Alokasi waktu yang disediakan total adalah 26 jam pelajaran perminggu untuk kelas 1, 27 jam pelajaran perminggu untuk kelas 2 dan 28 jam pelajaran perminggu untuk kelas 3. sedangkan jumlah minggu efektif tersedia antara 34 – 40 minggu. Dan untuk kepentingan analisis standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator misalnya ditetapkan 36 minggu efektif dalam satu tahun, sehingga masing-masing semester tersedia 18 minggu.
Pembelajaran tematik bagi siswa kelas 1, 2, dan 3 ini tidak dikenal adanya jadwal pelajaran. Karena pembelajarannya harus dilakukan oleh guru kelas yang menyajikan secara terpadu dalam naungan sebuah tema. Jadi jadwal penyajiannya adalah pelajaran tema yang memuat beberapa mata pelajaran sekaligus. Apabila terdapat kompetensi dasar dan indikator yang dibuat ternyata diketahui tidak dapat dipadukan dalam sebuah tema, maka khusus indikator-indikator tersebut perlu dibuatkan tema tersendiri agar dapat mencapai ketuntasan kompetensi dasar.

Prinsip Pemilihan Tema
Pembelajaran terpadu yang diikat dengan sebuah tema tertentu disebut juga sebagai pembelajaran tematik. Dalam penyusunannya guru perlu melihat semua kurikulum dan silabus dari semua mata pelajaran untuk menemukan dan menentukan tema dan atau topik yang bisa dikaitkan atau dipadukan.

Penentuan tema atau topik yang dipilih diharapkan melibatkan siswa dalam tugas-tugas yang terkait dengan sesuatu yang menjadi bagian dalam kehidupan siswa.
Pemilihan dan penentuan tema atau topik yang merupakan pemersatu mata pelajaran, dan dengan adanya tema tersebut tidak dikehendaki bahwa mata pelajaran tidak dapat dibahas. Apapun tema yang akan dimunculkan seyogyanya tidak menghalangi masuknya indikator dari kompetensi dasar dari sebuah mata pelajaran yang akan dibahas.

Oleh karena itu perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Tema tidak terlalu luas, namun dapat dengan mudah dipergunakan untuk memadukan banyaknya mata pelajaran
b. Tema bermakna, artinya bahwa tema yang dipilih untuk dikaji harus memberikan bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya.
c. Tema harus sesuai dengan tingkat perkembangan psikologis anak
d. Tema yang dikembangkan harus mampu mewadahi sebagian besar minat anak di sekolah/kelas
e. Tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan peristiwa-peristiwa otentik yang terjadi di dalam rentang waktu belajar
f. Mempertimbangkan kurikulum yang berlaku dan harapan masyarakat terhadap hasil belajar siswa.
g. Mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar.

Setelah guru memiliki tema, langkah berikutnya adalah membuat jaringan Kompetensi Dasar (KD) dan indikator. Semua KD dan indikator yang telah dibuat dari semua mata pelajaran (Agama, Bahasa Indonesia,, Matematika, Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu Pengetahuan Alam, Estetika/Seni – Budaya dan Olah Raga – Jasmani dan Kesehatan) ditulis dalam jaringan.

Model Pembelajaran Dengan Pendekatan Tematik
Model pembalajaran dengan pendekatan tematik khususnya siswa kelas 1, 2 dan 3 melalui beberapa tahapan antara lain, 1) guru harus sudah memiliki tema untuk satu tahun; 2) guru melakukan analisis standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator dari kurilulum 2004; 3) membuat hubungan antara kompetensi dasar, indikator dengan tema; 4) membuat jaringan indikator; 5) menyusun silabus tematik dan langkah keenam adalah penyusunan rencana pembelajaran tematik. Langkah-langkah tersebut akan dibahas satu per satu di bawah ini.
a) Pemilihan Tema
Penentuan tema yang akan dikembangkan di kelas 1 2 dan 3 dapat mempertimbangkan kriteria pembuatan tema seperti yang tertulis di depan tadi.
b) Analisis Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Indikator
Kegiatan untuk melakukan analisis indikator, kompetensi dasar dan hasil belajar yang sesuai dengan tema dapat diorganisasikan sepenuhnya oleh sekolah. Dengan demikian kegiatan ini tidak perlu dilakukan secara tersendiri, tetapi dapat dilaksanakan bersamaan dengan penentuan jaringan indikator.
c) Hubungan Kompetensi Dasar, Indikator dengan Tema
• Mengidentifikasi semua indikator dan kompetensi dasar dari semua mata pelajaran (Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu Pengetahuan Alam, Seni-Budaya dan Olah Raga Jasmani dan Kesehatan)
• Memasukkan hasil identifikasi ke dalam format (tabel) hubungan indikator dan kompetensi dasar ke dalam tema yang relevan
• Jika ada indikator dan kompetensi dasar yang tidak bisa dimasukkan ke dalam suatu tema, maka indikator dan kompetensi dasar tersebut dibuatkan atau dicarikan tema khusus dan disajikan tersendiri, baik oleh guru kelas maupun oleh guru mata pelajaran (terutama indikator dan kompetensi dasar Agama dan Penjas)
Contoh Model Pembelajaran dengan Teknik Jigsaw di Kelas I ,Tema: Aku dan Keluargaku
Untuk siswa yang masih duduk di kelas I banyak berbicara dengan bahasa gambar, karena bahasa tulis masih dalam taraf belajar memegang pensil dan belajar huruf. Teknik Jigsaw bagi siswa kelas I sekolah dasar bisa juga diterapkan tetapi bukan sebagai ahli informasi dalam pengertian memahami wacana, melainkan informasi tentang bagaimana dapat menceritakan makna gambar yang diperoleh dalam pembelajaran.

Contoh penerapan teknik jigsaw bisa seperti di bawah ini:
1. Siswa dibagi dalam kelompok kecil, sambil belajar angka maka bisa menggunakan teknik menghitung misalnya: jumlah siswa ada 40 anak. Semua anak akan menghitung 1, 2, 3, 4. selesai hitungan 4, kembali ke 1 begitu seterusnya sampai semua anak mempunyai angka nomor berapa. Kalau sudah selesai menghitung semua, beberapa siswa ditanya dia nomor berapa, untuk mengetahui apakah siswa tersebut masih ingat akan angka/nomor dirinya.
2. Semua siswa yang berdekatan dan yang mempunyai angka 1 s.d 4 dikelompokkan menjadi satu kelompok, sehingga dalam satu kelas akan ada 10 kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 anggota dalam satu kelompoknya (apabila di dalam kelas tersebut jumlah siswa ada 40 anak)
3. Guru menyajikan beberapa gambar misalnya:
a. Gambar keluarga terdiri dari seorang ayah, ibu dan 2 anak (laki-perempuan)
b. Gambar sebuah ruang tamu dengan seperangkat meja kursi
c. Gambar kakek dan nenek (orang tua dari ayah/ibu) datang
d. Gambar adik/bibi dari ibu membacakan cerita untuk anak-anak

4. Setelah dipastikan semua anak menerima gambar sesuai dengan nomor dirinya masing-masing, selanjutnya semua anak ditugaskan mengamati gambarnya yang diterimanya kemudian memaknai gambarnya.
5. Setelah selesai, memaknai gambarnya yang diterimanya, semua siswa yang memiliki gambar sama berkumpul dalam satu kelompok besar. Untuk mempermudah siswa membentuk kelompok ahli, guru menyiapkan kertas yang berbeda warna sehingga apabila ada siswa yang salah masuk ke kelompok yang tidak sesuai dengan nomor gambarnya akan mudah diketahui.
6. Dalam kelompok ahli (kelompok gambar yang sama) semua siswa diminta saling bercerita sesuai dengan pemaknaan masing-masing, kemudian disepakati kesimpulan dari cerita yang sama.
1. Setelah selesai berdiskusi tentang gambar semua siswa ditugaskan untuk kembali ke kelompok semula (yang beranggotakan 4 anak) dikatakan sebagai kelompok 4 serangkai, karena terdiri dari 4 anggota dalam setiap kelompoknya.
2. Setelah berkumpul kembali ke kelompok awal, semua siswa diminta untuk secara bergantian bercerita tentang hasil diskusi di kelompok ahli tadi. Semua siswa dalam kelompok empat serangkai ini akan mendapat cerita dari tiga temannya. Sehingga setiap siswa dalam satu kelas akan mempunyai 4 jawaban yang kurang lebih sama.
3. Berikutnya guru memanggil satu kelompok secara bergantian untuk maju ke depan kelas menceritakan hasil diskusinya. Kelompok lain bisa memberikan komentar, atau pertanyaan terhadap cerita temannya di depan kelas, sambil membiasakan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapatnya.
4. Guru memberikan klarifikasi apabila ada cerita siswa/kelompok yang tidak sesuai dengan fakta gambar. Dan memberikan penguatan jika jawaban siswa benar. Dan jika salah, maka guru memberikan pelurusan secara arif, tidak menyalahkan, melainkan memberikan rasional yang bijak.
Cara ini hanyalah salah satu dari sekian banyak teknik pembelajaran. Masih banyak teknik lain yang dapat dipergunakan dalam membelajarkan materi yang memadukan materi dari berbagai mata pelajaran yang disatukan dalam sebuah tema.
REFERENSI
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan

20/06/10

Pembelajaran Tematik, Bagaimana? (1)

Proses pembelajaran merupakan fenomena yang kompleks, guru lebih banyak berhubungan dengan pola pikir siswa, dimana setiap siswa, siapapun, dimanapun memiliki setumpuk kata, pikiran, tindakan yang dapat mengubah lingkungan, baik di keluarga di sekolah maupun di masyarakat.

Pola pembelajaran yang saat ini sudah disosialisasikan khususnya bagi siswa kelas awal (kelas 1, 2 dan kelas 3) adalah dengan menggunakan pendekatan tematik. Begitu nuansa tematik ini digulirkan di dunia guru, dan sekolah, maka sepertinya terjadi suatu “keributan”. Guru mulai berpikir dan bertanya-tanya, apakah selama ini cara pembelajaran yang rasanya sudah menghasilkan lulusan siswa-siswa berprestasi, yang sudah mencetak dan menghasilkan dokter, insinyur, birokrat dianggap kurang berhasil?. Sehingga ada ungkapan bahwa “saya sudah mengajar puluhan tahun, dan saya sudah mempunyai alumni yang berhasil menjadi pejabat, menjadi dokter, menjadi insinyur dan sebagainya dianggap tidak berhasil? Pemikiran-pemikiran semacam ini akan menjadi penghambat bagi bergulirnya sebuah inovasi dalam bidang pendidikan.
Pembelajaran dengan menggunakan berbagai pendekatan, strategi dan metode diharapkan dapat memberi kemungkinan siswa mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi siswa dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi siswa yang berdimensi ketuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral.
Pembelajaran yang diciptakan baik di kelas maupun di luar kelas dilaksanakan, diharapkan dapat dikondiskan dalam suasana hubungan siswa dan guru yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, hangat, dan menyenangkan dengan prinsip ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, (di depan memberikan contoh dan teladan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di belakang memberikan daya dan kekuatan). Terlebih bagi siswa yang masih berada di kelas 1, 2 dan 3, yang masih memerlukan bimbingan, perhatian, sebagaimana pelayanan para orang tua yang dengan kasih sayang membimbing mereka.
Pelaksanaan pembelajaran seyogyanya dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, multisumber belajar serta teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi guru (semua yang terjadi, tergelar dan berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar). Sebuah model pembelajaran diharapkan dapat dipergunakan sebagai wawasan untuk disesuaikan dengan kondisi siswa di masing-masing sekolah.
Siswa perlu dipersiapkan baik secara internal maupun eksternal, baik ketika di dalam kelas maupun di luar kelas. Terlebih bagi siswa yang masih berada di tataran kelas awal, yaitu kelas 1, 2 dan 3 tentu saja tidak dapat disamakan pelayannya dengan siswa yang ada di kelas tinggi, yaitu di kelas 4, 5 dan 6. siswa di kelas 1, 2 dan 3 perlu diperlakukan khusus, antara lain salah satunya dengan cara membelajarkan dengan menggunakan pendekatan tematik.
Pendekatan tematik yang akhir-akhir ini digulirkan dan telah disosialisasikan di lapangan memerlukan penjelasan yang cukup rinci. Apa, bagaimana membelajarkan model secara tematik akan dikupas di dalam naskah ini tetapi tentunya masih diperlukan adaptasi antara guru dan siswa setempat. Karena suatu model pembelajaran sangat cocok dengan siswa di kelas I di suatu tempat belum tentu sama perlakuannya apabila disajikan untuk siswa I di kelas yang lain.
Pemahaman Konsep Pendekatan Pembelajaran Tematik
Suatu pemikiran tentang pembelajaran tematik sudah dilakukan sejak konsep kurikulum 2004 mulai digulirkankan. Hal ini mengacu pada hakekat perkembangan anak terutama yang sedang berada di posisi kelas awal, kalau diistilahkan kelas rendah yaitu kelas 1, 2, dan kelas 3.
Ciri utama dari perkembangan anak sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah adalah pemikiran mereka masih bersifat holistik, perkembangan anak bersifat terpadu. Aspek perkembangan yang satu masih terkait erat antara yang satu dengan yang lainnya dan mempengaruhi aspek perkembangan yang lain. Perkembangan fisik tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial dan emosional, demikian juga sebaliknya. Perkembangan anak akan terpadu dengan pengalaman, kehidupan dan lingkungan kesehariannya, mulai dari lingkungan yang terdekat ke lingkungan yang semakin jauh, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Dalam menyiapkan pembelajaran di kelas awal ini guru perlu mempertimbangkan beberapa aspek agar pembelajaran dapat berdaya guna dan berhasil guna. Belajar secara menyenangkan sangatlah dianjurkan agar supaya siswa tidak merasa sedang di format untuk mempelajari sesuatu ilmu pengetahuan, melainkan dengan pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan siswa tidak merasakan bahwa dia sebenarnya sedang belajar dan sedang mentransformasi suatu ilmu pengetahuan ke dalam dirinya, karena suasananya yang ”Joyfull Learning”
Aspek yang perlu mendapat perhatian dalam mengoptimalkan pembelajaran di sekolah dasar adalah dengan mewujudkan pembelajaran tematik dengan memperhatikan keterpaduan berbagai mata pelajaran dalam setiap kali tatap muka.
Dalam mengakomodasi berbagai aspek tersebut, guru perlu menyiapkan diri untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak dengan cara pembelajaran menggunakan pendekatan tematik yang memadukan berbagai mata pelajaran. Anak diajak memahami konsep melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami. Pembelajaran semacam ini diyakini sebagai suatu pembelajaran yang lebih bermakna karena sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak.
Pembelajaran dengan pendekatan tematik bertolak dari suatu topik atau tema tertentu yang dipilih guru dengan atau bersama anak. Di mana konsep-konsep suatu mata pelajaran saling terkait dan dijadikan sebagai alat dan wahana untuk mempelajari dan menjelajahi suatu topik atau tema.
Belajar dengan pendekatan tematik ini lebih banyak menekankan pada keterlibatan anak dalam belajar, membuat anak menjadi aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan pembuatan keputusan. Pembelajaran ini cocok sekali dengan konsep dari John Dewey yaitu Learning by Doing.
Dalam menerapkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan tematik ini perlu disajikan contoh model penerapan pembelajaran tematik agar guru memperoleh gambaran secara utuh. Model penerapan pendekatan tematik yang secara utuh diawali dengan pemetaan kompetensi dasar dari berbagai mata pelajaran, kemudian dibuat jaringan KD dan Indikator, setelah itu dituangkan ke dalam format silabus, dari silabus ini dibuat rencana pelaksanaan pembelajaran.
Pembelajaran tematik dilaksanakan dengan menggunakan prinsip pembelajaran terpadu. Pembelajaran terpadu melalui tema sebagai pemersatu kegiatan yang memadukan beberapa mata pelajaran sekaligus dalam satu kali tatap muka, dimaksudkan untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Karena siswa dalam memahami berbagai konsep yang mereka pelajari selalu melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang telah dikuasainya.
Pembelajaran terpadu sebagai suatu konsep dapat dikatakan sebagai pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa mata pelajaran diyakini sebagai pendekatan yang berorientasi pada praktek pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak.
Pelaksanaan pendekatan ini berawal dari suatu tema dan atau topik yang dipilih/dikembangkan dan ditemukan oleh guru dan atau bersama anak. Apabila dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, maka pembelajaran terpadu ini tampak lebih menekankan pada keterlibatan anak dalam belajar.
Membuat anak aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan pembuatan keputusan. Memberikan pengalaman langsung pada anak dan tidak tampak adanya pemisahan antara mata pelajaran yang satu dengan lainnya. Menyajikan materi dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran, bersifat fleksibel dan hasil pembelajarannya dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak.
Tim pengembang PGSD dalam Pembelajaran Terpadu D-II PGSD dan S-2 Pendidikan Dasar disebutkan bahwa pengertian pembelajaran terpadu dapat dilihat sebagai:
• Pembelajaran yang beranjak dari satu tema tertentu sebagai pusat perhatian yang digunakan untuk memahami gejala-gejala dan konsep lain, baik yang berasal dari bidang studi yang bersangkutan maupun dari bidang studi lainnya.
• Suatu pendekatan pembelajaran yang menghubungkan berbagai bidang studi/mata pelajaran yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling dan dalam rentang kemampuan dan perkembangan anak.
• Suatu cara untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan anak secara simultan
• Merakit atau menggabungkan sejumlah konsep dalam beberapa bidang studi/mata pelajaran yang berbeda, dengan harapan anak dapat belajar dengan lebih baik dan bermakna

16/06/10

Info Lomba PTK


KOMPETISI PENILAIAN TINDAKAN KELAS

Nama Kegiatan
Kompetisi tentang Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Bagi Guru MI, MTs, dan MA negeri/swasta di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan D.I. Yogyakarta.

Dasar Pemikiran

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dikembangkan untuk memfasilitasi para praktisi pendidikan utama para guru dalam upayanya melakukan perbaikan kualitas pembelajaran di sekolah/madrasah. Melalui PTK ini, para guru diharapkan dapat mengembangkan berbagai gagasan konstruktif untuk peningkatan kualitas pembelajaran berbasiskan riset. Artinya, gagasan-gagasan konstruktif yang dikembangkan tidak saja bersifat teoretik, tetapi sekaligus didukung fakta-fakta empirik hasil penelitian lapangan.

Dalam rangka memfasilitasi dan menumbuhkembangkan kreatifitas para guru di bawah Kementerian Agama, maka Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang memandang perlu untuk mengadakan lomba penulisan karya tulis ilmiah dalam bentuk PTK. Penelitian ini diperuntukan bagi guru-guru PNS pada MI, MTs, dan MA yang berada di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan D.I. Yogayakarta.

Selengkapnya dapat di Download disini

Oleh : admin, Senin, 24 Mei 2010 08:05:03





15/06/10

Alternatif Alat Monitoring dan Evaluasi model CIPP

Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi model CIPP perlu direncanakan teknik sampling yang akan digunakan, struktur data monitoring dan evaluasi serta mengembangkan alat-alat monitoring dan evaluasi dikembangkan berdasarkan komponen evaluasi program yang terdiri dari evaluasi konteks dan input untuk baseline survey, komponen evaluasi input, process dan produk.

1. Pembuatan Instrumen Monitoring dan Evaluasi
Pada tahap kegiatan ini ditujukan agar diperoleh seperangkat instrumen yang dipandang memadai dari segi kesahihan isi sesuai dengan tujuan diselenggarakannya lesson study, dan dari segi keterbacaan instrumen oleh para resoponden. Untuk itu perlu dilakukan seminar dan uji coba yang disesuaikan dengan calon responden. Perangkat instrumen yang diperlukan adalah angket dan panduan observasi/wawancara. Perangkat instrumen tersebut digunakan untuk menjaring data dari pihak perguruan tinggi yakni: (a) pengelola, dan (b) dosen, serta dari pihak sekolah yakni : (a) kepala sekolah, (b) guru, dan (c) siswa yang terlibat dalam kegiatan lesson study.

2. Penyusunan Struktur Data
Sesuai dengan model evaluasi yang akan dikembangkan, maka perlu dilakukan penyusunan Struktur Data yang dapat menjelaskan aspek evaluasi, fokus, informasi yang diperlukan, metoda pengumpulan informasi dan sumber data.

Terdapat dua jenis data yang akan dioleh yaitu data kuantitatif dan kualitatif.
Instrumen yang harus disiapkan untuk data kuantitatif terdiri dari :
- Angket Kepala sekolah
- Angket untuk Guru
- Angket untuk Siswa
- Dan Test penguasaan konsep (Academic Test) bila berkait dengan prestasi

Instrumen yang harus disiapkan untuk data kualitatif terdiri dari :
- Pedoman analisis rekaman video pembelajaran
- Pedoman observasi fasilitas sekolah
- Pedoman wawancara untuk kepala sekolah, guru, siswa dan ketua MGMP.

H. Pengembangan instrumen
Agar dapat dihimpun data yang sahih maka perlu dibuat instrumen untuk menghimpunnya. Dalam mengembangkan instrumen, perlu disusun terlebih dahulu kisi-kisinya.

I. Analisis hasil dan Pelaporan
Data hasil monitoring selanjutnya diolah dan dianalisis untuk mengenali kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan yang dihadapi oleh pihak-pihak yang terkait dalam implementasi lesson study sehingga dapat dievaluasi untuk ditetapkan derajat efektivitas, efisiensi, dan keterlibatan pihak-pihak yang terkait, baik pada tahapan perencanaan, implementasi program, maupun hasil program. Atas hasil analisis data selanjutnya dapat ditetapkan sebagai tindakan kebijaksanaan apakah program lesson study dilanjutkan tanpa direvisi ataukah harus direvisi untuk tahun mendatang.

Triangulasi perlu dilakukan jika data di atas berdasarkan jawaban responden. Artinya, pemonitor dan evaluator harus melihat pula apa yang tersaji di dalam laporan lesson study. Sebagai contoh, dalam hal pengembangan kolaborasi pada lesson study model kolaborasi dapat dilakukan pengecekan silang antara jawaban peneliti dan jawaban praktisi yang menjadi kolaboratornya. Dalam aspek konteks untuk mencari permasalahan dapat dilakukan pengecekan silang antara data yang diperoleh dari jawaban peneliti, praktisi yang menjadi kolaboratornya, dan laporan lesson study yang dibuat. Dalam lesson study model individual maka pengecekan silang dapat dilakukan atas dasar data yang dihimpun dari peneliti dari critical friend dan dan/atau dari laporan lesson study yang dibuat.

I. Penutup
Monitoring dan evaluasi menjadi salah satu aspek penentu keberhasilan implementasi program lesson study. Bila program lesson study dilakukan oleh guru-guru di sekolah, maka pemonitor dan evaluator dapat dilakukan oleh pihak sekolah dengan menunjuk orang tertentu untuk melakukannya. Dengan demikian, akan dapat diketahui apakah lesson study yang diprogramkan dapat berjalan sesuai harapan.
Monitoring dan evaluasi program lesson study pada prinsipnya tidak berbeda baik dalam hal tujuan, fungsi, mekanisme, dan prosedurnya dengan monitoring dan evaluasi program pada umumnya. Dengan demikian, pemahaman atas monitoring dan evaluasi untuk program lesson study dapat diterapkan untuk program yang lain.

13/06/10

Karakteristik Peserta Didik dan Perkembangannya

Peserta didik adalah manusia dengan segala fitrahnya. Mereka mempunyai perasaan dan pikiran serta keinginan atau aspirasi. Mereka mempunyai kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi (pangan, sandang, papan), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan, dan kebutuhan untuk mengaktualisasi dirinya (menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya).

Dalam tahap perkembangannya, peserta didik SMP berada pada tahap periode perkembangan yang sangat pesat, dari segala aspek. Berikut ini disajikan perkembangan yang sangat erat kaitannya dengan pembelajaran, yaitu perkembangan aspek kognitif, psikomotor, dan afektif.

1. Perkembangan Aspek Kognitif
Menurut Piaget (1970), periode yang dimulai pada usia 12 tahun, yaitu yang lebih kurang sama dengan usia peserta didik SMP, merupakan ‘period of formal operation’. Pada usia ini, yang berkembang pada peserta didik adalah kemampuan berfikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermakna (meaningfully) tanpa memerlukan objek yang konkrit atau bahkan objek yang visual. Peserta didik telah memahami hal-hal yang bersifat imajinatif. Implikasinya dalam pembelajaran IPA bahwa belajar akan bermakna kalau input (materi pelajaran) sesuai dengan minat dan bakat peserta didik . Pembelajaran IPA akan berhasil kalau penyusun silabus dan guru mampu menyesuaikan tingkat kesulitan dan variasi input dengan harapan serta karakteristik peserta didik sehingga motivasi belajar mereka berada pada tingkat maksimal. Pada tahap perkembangan ini juga berkembang ketujuh kecerdasan dalam Multiple Intelligences yang dikemukakan oleh Gardner (1993), yaitu: (1) kecerdasan linguistik (kemampuan berbahasa yang fungsional), (2) kecerdasan logis-matematis (kemampuan berfikir runtut), (3) kecerdasan musikal (kemampuan menangkap dan menciptakan pola nada dan irama), (4) kecerdasan spasial (kemampuan membentuk imaji mentaltentang realitas), (5) kecerdasan kinestetik-ragawi (kemampuan menghasilkan gerakan motorik yang halus), (6) kecerdasan intra-pribadi (kemampuan untuk mengenal diri sendiri dan mengembangkan rasa jati diri), kecerdasan antarpribadi (kemampuan memahami orang lain). Di antara ketujuh macam kecerdasan ini sesuai dengan karakteristik keilmuan IPA akan dapat berkembang pesat dan bila dapat dimanfaatkan oleh guru IPA untuk berlatih mengeksplorasi gejala alam, baik gejala kebendaan maupun gejala kejadian/peristiwa guna membangun konsep IPA.

2. Perkembangan Aspek Psikomotor
Aspek psikomotor merupakan salah satu aspek yang penting untuk diketahui oleh guru. Perkembangan aspek psikomotor juga melalui beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain:

a. Tahap kognitif
Tahap ini ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kaku dan lambat. Ini terjadi karena peserta didik masih dalam taraf belajar untuk mengendalikan gerakan-gerakannya. Dia harus berpikir sebelum melakukan suatu gerakan. Pada tahap ini peserta didik sering membuat kesalahan dan kadang-kadang terjadi tingkat frustasi yang tinggi.

b. Tahap asosiatif
Pada tahap ini, seorang peserta didik membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk memikirkan tentang gerakan-gerakannya. Dia mulai dapat mengasosiasikan gerakan yang sedang dipelajarinya dengan gerakan yang sudah dikenal. Tahap ini masih dalam tahap pertengahan dalam perkembangan psikomotor. Oleh karena itu, gerakan-gerakan pada tahap ini belum merupakan gerakan-gerakan yang sifatnya otomatis. Pada tahap ini, seorang peserta didik masih menggunakan pikirannya untuk melakukan suatu gerakan tetapi waktu yang diperlukan untuk berpikir lebih sedikit dibanding pada waktu dia berada pada tahap kognitif. Dan karena waktu yang diperlukan untuk berpikir lebih pendek, gerakan-gerakannya sudah mulai tidak kaku.

c. Tahap otonomi
Pada tahap ini, seorang peserta didik telah mencapai tingkat autonomi yang tinggi. Proses belajarnya sudah hampir lengkap meskipun dia tetap dapat memperbaiki gerakan-gerakan yang dipelajarinya. Tahap ini disebut tahap autonomi karena peserta didik sudah tidak memerlukan kehadiran instruktur untuk melakukan gerakan-gerakan. Pada tahap ini, gerakan-gerakan telah dilakukan secara spontan dan oleh karenanya gerakan-gerakan yang dilakukan juga tidak mengharuskan pembelajar untuk memikirkan tentang gerakannya.

3. Perkembangan Aspek Afektif
Keberhasilan proses pembelajaran IPA juga ditentukan oleh pemahaman tentang perkembangan aspek afektif peserta didik . Ranah afektif tersebut mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Bloom (Brown, 2000) memberikan definisi tentang ranah afektif yang terbagi atas lima tataran afektif yang implikasinya dalam peserta didik SMP lebih kurang sebagai berikut: (1) sadar akan situasi, fenomena, masyarakat, dan objek di sekitar; (2) responsif terhadap stimulus-stimulus yang ada di lingkungan mereka; (3) bisa menilai; (4) sudah mulai bisa mengorganisir nilai-nilai dalam suatu sistem, dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai yang ada; (5) sudah mulai memiliki karakteristik dan mengetahui karakteristik tersebut dalam bentuk sistem nilai.

Pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan direspon, dan apa yang diyakini dan diapresiasi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam teori pemerolehan bahasa kedua atau bahasa asing. Faktor pribadi yang lebih spesifik dalam tingkah laku peserta didik yang sangat penting dalam penguasaan berbagai materi pembelajaran, yang meliputi:
a. Self-esteem, yaitu penghargaan yang diberikan seseorang kepada dirinya sendiri.
b. Inhibition, yaitu sikap mempertahankan diri atau melindungi ego.
c. Anxiety (kecemasan), yang meliputi rasa frustrasi, khawatir, tegang, dsbnya.
d. Motivasi, yaitu dorongan untuk melakukan suatu kegiatan.
e. Risk-taking, yaitu keberanian mengambil risiko.
f. Empati, yaitu sifat yang berkaitan dengan pelibatan diri individu pada perasaan orang lain.

12/06/10

Model-Model Monitoring dan Evaluasi program

Pada dasarnya, model monitoring dan evaluasi program harus diletakkan dalam konteks program. Dalam hal ini, monitoring dan evaluasi program diposisikan sebagai tools dalam keseluruhan aspek manajemen program. Oleh karena itu, model monitoring dan evaluasi akan lebih baik jika mengacu salah satu model.

Menurut Issac dan Michael (1981) berdasarkan pendekatannya, ada dua model monitoring dan evaluasi program yakni
1. Model monitoring dan evaluasi program menggunakan pendekatan sistem (systems approach) yaitu dengan memperhatikan: (a) masukan (input), (b) proses, dan (c) luaran (output). Model ini diterapkan dengan tujuan untuk sekedar melihat keberhasilan progam. Dengan membandingkan luaran dan masukan akan dapat diketahui perolehan (gain) yang dicapai.

2. Model monitoring dan evaluasi program menggunakan pendekatan tujuan (objectives approach) yaitu dengan memperhatikan: (a) tujuan (objectives), proses/kebermaknaan (mean), dan ukuran keberhasilan (measure). Model ini diterapkan dengan tujuan untuk mengoptimasi program. Dengan melihat pelaksanaan selama proses kemudian dikembalikan lagi pada tujuan yang sudah ditetapkan maka keberhasilan progam dapat dioptimalisasikan.

Model yang lebih kompleks adalah model CIPP (Context, Input, Process, Product). Model ini bertujuan untuk memonitor dan mengevaluasi implementasi program dengan jangkauan yang lebih luas, yakni menyangkut evaluasi conteks, evaluasi input, evaluasi proses, evaluasi produk dalam bentuk output dan dampak. Model ini diterapkan dengan tujuan secara lebih luas, dalam artian dapat untuk mengevaluasi seberapa jauh kebijakan yang diterapkan dapat dicapai dengan baik. Bila ternyata hasilnya tidak optimal maka dengan mengkaji kembali data konteks, input, proses, dan produk maka akan dapat dibuat rekomendasi apakah perlu progam harus dimodifikasi bila akan diterapkan kembali. Dengan demikian, dengan model ini dapat dipakai sebagai model monitoring dan evaluasi program di mana program didudukkan sebagai kebijakan.

Evaluasi konteks merupakan need assessment kebutuhan pengembangan profesional guru di suatu wilayah. Problem apa yang dihadapi guru-guru di wilayah tersebut? Kelemahan apa yang ada pada aspek kurikulum/silabi, pembelajaran, media pembelajaran, aktivitas laboratorium, bahan ajar, asesmen pelajaran, dan lain-lain. Dari hasil evaluasi konteks dapat disimpulkan substansi apa yang perlu menjadi muatan kegiatan Lesson Study MGMP, khususnya aspek-aspek kompetensi apa yang perlu dikembangkan pada diri guru melalui kegiatan Lesson study. Kompetensi pedagogic yang mana dan kompetensi profesional yang mana? Disamping mengembangkan tradisi ”berkooperasi” dikalangan guru mata pelajaran sejenis, LS pun hendaknya berisi intervensi untuk mengubah moda pembelajaran dari ”teacher centered” ke arah ”student centered”, serta dari ”teoritik” ke arah ”hands-on.

Evaluasi input berfokus pada pengumpulan informasi input yang penting seperti profil siswa (kapasitas beljar, tingkat kemampuan dll.), profil guru (latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar, mismatch, sikap terhadap suatu inovasi, budaya kerja sekolah, dll.). dan fasilitas belajar yang tersedia di sekolah. Dari evaluasi input dapat disimpulkan pendekatan pengelolaan apa yang perlu diterapkan dalam LS, model pembelajran apa yang perlu ditumbuh kembangkan, serta hidden agenda apa yang perlu dibawa melalui LS MGMP.

Sasaran ”baseline survey” mestinya diarahkan pada pengumpulan informasi yang diperlukan untuk evaluasi konteks dan input. Oleh karenanya disain dan instrumen baseline survey perlu dirancang dengan merujuk pada kebutuhan pengumpulan informasi secara komprehensif tentang problem lapangan yang berkaitan dengan pembelajaran, keberadaan peralatan pendukung pembelajaran, selain profil input lainnya, seperti kondisi guru dan siswa.

Evaluasi proses (dapat disebut monitoring) berkenaan dengan kajian seberapa jauh pelaksanaan operasional LS di MGMP berjalan secara efektif ke arah pengembangan profesional guru yang diharapkan. Evaluasi proses bersifat sebagai evaluasi formatif, sehingga hasil evaluasi perlu segera diumpanbalikkan kepada pihak-pihak terkait, termasuk manajemen program di wilayah tertentu, untuk ditindaklanjuti.
Evaluasi produk meliputi dua aspek, yakni evaluasi output dan evaluasi dampak (impact). Evaluasi output terarah pada hasil langsung (direct) program, baik perubahan-perubahan pada kinerja mengajar guru maupun kinerja beljar siswa yang teramati pada akhir implementasi program. Evaluasi dampak lebih bersifat monitoring terhadap konsistensi aktivitas LS MGMP pasca project (sustainability).

Oleh karena evaluasi produk terarah pada perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat dari program inovasi, maka isu sering muncul adalah ”benchmark´ yang dipakai untuk membandingkan kinerja guru. Penggunaan desain ex-post facto dengan sekolah kontrol mengundang kontroversi karena persoalan disekitar kesetaraan antara guru partisipan dengan guru non-partisipan. Oleh karenanya pembuktian secara ilmiah akan terjadinya perubahan mesti menggunakan kinerja pada pra-program sebagai ”benchmark”. Dengan kata lain, desain perbandingan kinerja guru dan kinerja siswa pasca program terhadap pra-program menjadi prosedur yang perlu diangkat.

Mengingat pentingnya informasi kinerja guru dan kinerja siswa pada keadaan pra-program menjadi penting untuk memberikan bukti empirik bagi keberhasilan program, maka perlu dilakukan tiga hal berikut:
a. Pada fase Perencanaan Program ditetapkan tolok ukur kinerja guru dan kinerja siswa yang akan dipakai untuk mengevaluasi perubahan sebagai output dan outcomes program.
b. Monitoring kinerja guru dan kinerja siswa sebelum program diimplementasikan (pra-program) sebagai pembanding. Data otentik berkenaan dengan kinerja guru dan kinerja siswa belajar perlu tersedia (videotaping). Hendaknya guru dan seolah yang dipih sebagai sampel teridentifikasi secara jelas karena akan dirunut kembali pada fase pasca program. Monitoring ini dapat dijadikan bagin dari baseline survey.
c. Memonitor kinerja guru dan kinerja siswa selama proses pembelajaran pada sampel pasca program untuk menginferensi perubahan-perubahan yang terjadi pada evaluasi output dan dampak.

Tolok ukur yang perlu disepakati stakeholder
a. Tolok ukur keberhasilan program dalam mengubah kinerja guru dan kenerja siswa dan instrumen asesmen inerja mengajar dan kinerja belajar guru untuk mengevaluasi aspek produk dari program.
b. Informasi-informasi yang perlu dikumpulkan pada baseline survey baik untuk penetapan substansi dan fokus program LS MGMP dan instrumen baseline survey.
c. Tolok ukur kemajuan implementasi program serta prosedur dan alat monitoring.

Monitoring dan evaluasi kegiatan MGMP merupakan bagian integral dari program keseluruhan. Merujuk pada profil program yang dipaparkan di atas, program harus mengembangkan mekanisme pemantauan dan evaluasi kegiatan MGMP. Indikator ketercapaian output program ini adalah frekuensi monitoring dan evaluasi yang dilakukan dengan menggunakan metode dan alat evaluasi yang dikembangkan.

Program Monitoring dan Evaluasi (ME)

Suatu program, termasuk didalamnya program pendidikan rutin, program pelatihan, maupun program dalam kemitraan merupakan suatu kegiatan yang terencana dan lengkap dengan rincian tujuan beserta jenis-jenis kegiatannya. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah program yang diimplementasikan benar-benar berharga diperlukan monitoring dan evaluasi. Bagaimanakah implementasinya?

Prinsip prinsip Program ME
Monitoring dan evaluasi yang dimaksud adalah suatu proses yang sistematis yang dilaksanakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi program yang bersangkutan. Monitoring dan evaluasi terhadap tingkat efisiensi program terutama ditujukan kepada program yang sifatnya akan dilaksanakan berulang. Jadi, dalam artian bahwa pada tahun mendatang program tersebut akan terus dilaksanakan. Dengan mengetahui tingkat efisiensinya akan dapat dihemat baik tenaga, biaya, maupun waktunya. Walaupun suatu program dinilai sangat efektif tetapi bila kurang efisien maka akan dinilai kurang berhasil karena mahal, terlalu lama, dan terlalu banyak menghabiskan tenaga (Pusat Pengujian, 1998).

Keberhasilan suatu program tidak dapat terlepas dari segi pelaksanaannya. Oleh karena itu, monitoring dan evaluasi terhadap suatu program akan menyangkut berbagai hal yang terkait, baik yang menyangkut kualitas masukan (input), kualitas proses maupun kualitas hasil pelaksanaan (output) program. Selain itu, monitoring dan evaluasi terhadap suatu program dapat dilaksanakan atas dasar sekuensi implementasinya, dapat pula dilakukan terhadap komponen programnya (Issac & Michael, 1981).

Karena keberhasilan suatu program tidak dapat terlepas dari segi pelaksanaannya, maka penilaian terhadap suatu program akan menyangkut berbagai hal yang terkait, baik yang menyangkut kualitas masukan, kualitas proses maupun kualitas hasil pelaksanaan program. Selain itu, penilaian dapat dilaksanakan atas dasar sekuensi implementasi program, dapat pula dilakukan terhadap komponen program.
Dalam program pendidikan pada umumnya, evaluasi keberhasilan program menjadi sangat kompleks karena dapat dilakukan terhadap kurikulumnya, sarana dan prasarana, tenaga yang terlibat baik edukatif maupun administratif, kelancaran pelaksanaan program, efisiensi waktu penyelenggaraan program, dan tentunya seberapa jauh efektifnya program yang telah diselenggarakan.

Evaluasi suatu program adalah suatu pengambilan keputusan untuk menetapkan berharga tidaknya suatu implementasi program yang bersangkutan. Hal ini akan sangat tergantung kepada perspektif yang digunakan. Perspektif tersebut dapat menyangkut hal-hal berikut.
a. Perspektif alat-tujuan, yang lebih menekankan kepada pengukuran, yang kadang-kadang hasilnya bias.
b. Perspektif situasional, yang menekankan kepada sosok programnya dan dikaitkan dengan penghayatan semua pihak yang terkait
c. Perpektif kritis, yang dikembalikan kepada asumsi dasar dan nilai dasar yang digunakan dalam penyelenggaraan program.

Karena evaluasi merupakan suatu bentuk penetapan untuk menyatakan berharga tidaknya suatu implementasi program, maka perlu adanya kriteria penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria penilaian mencakup hal-hal berikut:

a. Kriteria internal, yang dijabarkan dari dalam rancangan program pendidikan/ pengajarannya itu sendiri, yang dapat ditinjau dari sudut:
1) koherensi (konsistensi), baik koherensi antara:
a) tujuan dengan penilaian;
b) tujuan dengan pengalaman kegiatan pembelajaran diselenggarakan;
c) pengalaman kegiatan pembelajaran dengan penilaiannya;
d) tujuan dengan bahan ajarnya, dll.

2) pengetahuan penempatan resource yakni mencakup pemilihan staf;

3) reaksi pemakai program (kelompok sasaran) yang dapat ditinjau dari:
a) kepuasan;
b) pencapaian tujuan pribadi;
c) minat;
d) wawasan, dll.

4) reaksi pelaksana program, dalam hal ini adalah tenaga pengajar, yang dapat ditinjau dari sudut
a) sikapnya terhadap program;
b) cara penerimaan terhadap program;
c) kepuasan;
d) minat;
e) wawasan;
f) kepentingan/tujuan pribadi, dll.

5) efektivitas penggunaan dana;
6) kemampuan generatif atau pengembangan diri dari program (side effect).

b. Kriteria eksternal, yang mencakup
1) kemampuan pengarahan kebijakan, maksudnya adalah sejauh mana pelaksanaan atau implementasi program sesuai dengan garis kebijakan yang telah ditetapkan;
2) analisis cost-benefit untuk membandingkan antara biaya dengan keuntungan secara keseluruhan;
3) efek multiplier (melipat ganda), baik yang berupa imbasan langsung ataupun imbasan yang tidak langsung (Depdikbud, 1986)

Dalam dunia pendidikan, program yang ada dapat berbeda-beda tingkatannya, yaitu mulai dari tingkat departemen, dinas pendidikan di wilayah, sekolah, sampai di kelas. Dari segi penyelenggaranya ada yang diselenggarakan oleh lembaga negeri, diselenggarakan lembaga swasta, diselenggarakan oleh dua atau lebih lembaga dalam bentuk kemitraan. Dari segi peserta didik sendiri ada pihak orang tua yang terlibat di belakangnya. Oleh karena itu, pihak-pihak itulah yang memerlukan hasil hasil evaluasi dari program yang diselenggarakan.

Dari segi pelaksananya, penilai suatu program pendidikan dapat dilakukan oleh perencana dan pelaksana program, dan dapat pula diserahkan kepada pihak lain yang dianggap ahli. Jika penilaian dilakukan terhadap setiap satuan kecil dari suatu program pendidikan yang lebih besar yang masih berjalan dalam upaya untuk pengendalian pelaksanaan program, maka evaluasi dilakukan sendiri oleh pihak pelaksana program. Dalam hal ini dikenal dengan evaluasi program dalam skala mikro. Sebagai contoh, untuk menilai program pembelajaran di kelas secara periodik dalam waktu yang relatif singkat, yang paling tepat maka pelaku penilaian formatif maupun sumatif adalah guru yang bersangkutan. Hal itu disebabkan gurulah yang setiap saat berinteraksi dengan siswa selama kegiatan pembelajaran, guru pulalah yang berkepentingan menggunakan hasil penilaian keberhasilan/prestasi untuk menyempurnakan program pembelajarannya agar sasaran yang telah ditetapkan dapat tercapai sesuai harapan.

Dalam skala mikro, orientasi utama evaluasi program ditujukan kepada hal-hal yang berkait dengan strategi pembelajaran. Sebaliknya, evaluasi juga dilakukan pada skala makro yang dititikberatkan pada hal-hal yang berkait dengan efisiensi pelaksanaan, yaitu berkenaan dengan strategi dan pelaksanaan. Oleh karena itu, evaluasi pada skala makro akan lebih baik jika dilakukan oleh pihak luar. Namun demikian, karena menyangkut efisiensi dan kerahasiaan, maka lembaga yang ditugasi untuk melakukan evaluasi program dalam skala makro akan lebih ideal jika tetap dari pihak pemerintah, baik yang berkait dengan evaluasi dari aspek finansial, sarana-prasarana, ketenagaan, juga sampai pada aspek substantif dalam perencanaan dan pelaksanaan program pendidikan itu sendiri (Pusisjian Depdikbud, 1997).

Penelitian Rusgianto (2002) menyimpulkan bahwa bentuk pelatihan perlu dievaluasi yang menyangkut revisi program dan keberhasilan program. Kaitannya pengimbasan ide-ide baru di lapangan seperti yang akan dilakukan oleh guru peserta lokakarya/pelatihan, Roger Schumacher mengkategorikan respon masyarakat ke dalam tiga kelompok: yaitu kelompok yang menerima secara langsung dan lawannya adalah kelompok yang menolak penuh. Kelompok yang ketiga berada di antara kedua kelompok ekstrim tersebut. Demikian pula halnya dengan kegiatan kemitraan beserta pengimbasannya terhadap guru lain di sekolah yang bersangkutan. Dengan monitoring dan evaluasi di lapangan perlu dilakukan. Dengan cara itu, akan dapat diketahui keunggulan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan tantangan (threat) pada pelaksanaan kegiatan tersebut dan langkah persiapan untuk kegiatan-kegiatan serupa untuk yang akan datang. Dari informasi ini diharapkan diperoleh pula strategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Mengacu pada pendapat Mitchell (1997) secara khusus monitoring dapat dipisahkan dengan evaluasi. Menurut Mitchell monitoring difokuskan pada penggambaran perubahan kondisi yang terjadi dan menjelaskan hubungan sebab akibat yang terjadi. Manakala kemudian dilakukan asesmen terhadap efektifitas, efisiensi, dan keseimbangan pihak-pihak yang dilibatkan dalam proses perubahan yang diharapkan, maka komponen evaluasi akan masuk didalamnya.

Mengacu pada pendapat Mitchell, monitoring dapat dilakukan dengan tujuan antara lain: (1) untuk menilai kondisi secara umum, (2) untuk menjamin keterlaksanaan konsep dasar, kecenderungan, dan efek kumulatifnya, (3) untuk mendokumentasikan beban, sumber daya, dan perubahan, (4) untuk menguji model yang dipakai dan untuk memverifikasinya, dan (5) untuk menyediakan informasi bagi pengambil keputusan.

Upaya meningkatkan kompetensi guru dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yakni pendekatan internal dengan memanfaatkan guru yang lebih berpengalaman sebagai pelatih, pendekatan eksternal dengan mengirimkan guru untuk mengikuti pelatihan ataupun studi lanjut, dan dengan pendekatan kemitraan melalui kerjasama antara guru dan sekolah. Karakteristik program kemitraan adalah dikembangkannya prinsip kolaborasi yang memberikan keuntungan pihak-pihak yang terlibat (Fandi Tjiptono & Anastasia Diana, 1996). Oleh karena itu, dalam melakukan monitoring dan evaluasi perolehan pihak-pihak yang berkolaborasi harus menjadi fokus utama.

06/06/10

Implikasi Pembelajaran Optimal

Setiap pelaksanaan proses pembelajaran, diharapkan mencapai titik optimal. Proses pembelajaran yang optimal ini akan memiliki implikasi terhadap perubahan peranan murid, perubahan peranan guru, pemanfaatan sumber-sumber belajar, penilaian dan pola interaksi-komunikasi proses pembelajaran.

1. Peranan anak dalam belajar Ditinjau dari sudut psikologi proses pembelajaran optimal memerlukan perkembangan domain intelektual, kognitif, motivasi dan sosio afektif. Terjadinya keterkaitan di bidang intelektual dan kognitif, dimana pengetahuan dasar saat ini merupakan dasar (preriquisite) untuk mengembangkan kognitif tingkat yang lebih tinggi. Dalam kerangka itu, anak harus diperlengkapi dengan teknik-teknik untuk mendapatkan pengetahuan dan disadarkan akan sumber-sumber pengetahuan di luar guru dan sekolah. Dan yang lebih penting dari itu, mereka harus terampil untuk menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah-masalah belajar. Dalam rangka optimasi proses pembelajaran, anak harus mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Anak harus mampu mengembangkan kemampuannya untuk belajar dalam berbagai teknik dan setting belajar. Anak harus dapat menemukan sendiri pengetahuannya dan mengolah pengetahuannya itu, dan dengan terampil dapat memanfaatkannya untuk memecahkan masalah. Pembelajaran optimal mempersyaratkan Anak sudah dapat belajar dengan berbagai strategi dan setting, misalnya belajar perorangan, kelompok dan seterusnya. Anak telah mempunyai (1) ketrampilan belajar, seperti ketrampilan membaca, menulis, mengamati dan mendengarkan, komunikasi verbal dan non verbal, (2) ketrampilan dasar intelektual seperti mengadakan penalaran, berpikir kritis, dan menafsirkan data, (3) keterampilan menggunakan bermacam-macam alat belajar seperti, media cetak, media masa dan berbagai intruksional ma-terial, (4) kemampuan mengidentifikasi kebutuhan belajarnya. Pendek kata untuk menunjang proses pembelajaran optimal, anak dituntut mempunyai hal-hal sebagai berikut, (1) kemampuan mendapatkan dan menggunakan informasi, (2) ketrampilan intelektual dan kognitif yang tinggi, (3) kemampuan belajar melalui berbagai strategi dan setting belajar, (4) kemampuan menilai hasil belajar sendiri, (5) memiliki motivasi belajar yang tinggi, (6) dimilikinya pemahaman diri sendiri. Kegiatan belajar, perlu diarahkan kepada peningkatan cara belajar siswa aktif agar pembelajaran menjadi optimal. Melalui cara belajar aktif tersebut, anak dapat berkembang kemampuan dan keinginannya untuk belajar secara mandiri. Dengan CBSA anak mampu belajar dalam arti yang

sebenarnya. Anak dapat memproses dan menggunakan pengetahuan sebagai dasar untuk mengembangkan kemampuan dalam berpikir kritis, kreatif dan penalaran yang tinggi. Peningkatan kadar CBSA dalam kegiatan pembelajaran, berarti menuntut penggunaan strategi dan metode pembelajaran secara kaya dan beraneka ragam. Penerapan berbagai metode pembelajaran secara self directed learning (dapat mengarahkan dirinya sendiri untuk belajar) dan interlearning (belajar sesama teman). Pembelajaran optimal menuntut anak untuk mengambil peran aktif dalam belajarnya. Pengambilan bagian secara aktif dalam kegiatan belajar terindikasikan oleh adanya keterlibatan mental, emosional anak disamping keterlibatan fisik. Keterlibatan mental intelektual dan emosional sekaligus berarti pembangkitan motivasi. 2. Peranan guru dalam proses pembelajaran optimal Peranan guru dalam proses pembelajaran optimal memiliki berbagai bentuk sesuai dengan pengaruhnya terhadap sikap, struktur motivasi dan ketrampilan kognitif anak. Di dalam domain sikap, tugas guru membantu anak untuk mengambil sikap yang kreatif dalam proses pembelajaran. Membantu anak untuk berpikir kritis dalam menghadapi masalah-masalah agar dapat mengatasi secara efektif dan efisien. Membantu anak untuk memperoleh pengalaman, menjadi peran guru dalam pembelajaran. Di bidang motivasi, tugas guru adalah membangkitkan anak dalam proses belajar dan membangkitkan keinginan anak untuk secara kontinyu mau belajar. Sedangkan dalam domain kognitif tugas guru adalah memperlengkapi kemampuan untuk belajar dalam memperoleh pengetahuan dan ketrampilan. Tugas ini dapat dikembangkan melalui pembinaan dalam mengenal dan menggunakan metode-metode ilmiah dan pembinaan untuk mengenal sumber-sumber belajar. Peranan fundamental guru, utamanya dalam bidang kognitif yaitu meningkatkan kemampuan anak untuk menemukan pengetahuan baru menganalisa proses belajar anak. Untuk yang terakhir ini dikembangkan melalui pembelajaran dengan pendekatan ketrampilan proses. Dalam rangka memandu konsep belajar sepanjang hayat, guru hendaknya telah menjadi pelajar sepanjang hayat. Guru tidak pernah berhenti belajar. Sehingga tindakannya itu, menjadi contoh bagi anak-anak.

Peranan tradisional yang mengatakan guru sebagai penyalur pengetahuan dan sumber dari segala ilmu pengetahuan harus berubah. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar anak. Guru sebagai fasilitator belajar anak, akan berfungsi sebagai manajer dalam setting belajar anak. Sebagai advisor, penasehat anak dalam meghadapi kesulitan. Sebagai observer, pengamat kegiatan anak. Dan sebagai evaluator, yang bertugas untuk mendeteksi kemajuan belajar anak. Guru tidak berperan sebagai "pemberi fakta" yaitu orang yang hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak, tetapi membantu anak untuk mendiaknosis kebutuhan belajar, mengkoordinasikan anak dalam setting belajar yang tepat. Guru-guru menjadi penasehat (advizor) bagi anak-anak. Guru sebagai penasehat berarti harus mampu mendiaknosis kesulitan belajar anak sehingga dapat memberikan layanan belajar dengan tepat. 3. Penilaian Pembelajaran Sebagai konsekuensi dari pembelajaran optimal, ada pada sistem penilaian. Penilaian tidak semata-mata diarahkan untuk mengukur hasil belajar saja. Penilaian kegiatan pembelajaran harus mencakup hasil dan proses belajar anak. Penilaian hasil maksudnya penilaian terhadap penguasaan pengetahuan anak. Sedang penilaian proses mengacu pada penilaian terhadap kualitas aktivitas belajar anak. Misalnya penilaian tentang sikap belajar, penilaian terhadap keterampilan proses (keterampilan mengamati, menggolongkan, menafsirkan, penelitian, dan keterampilan komunikasi). 4. Pemanfaatan sumber-sumber belajar Proses pembelajaran optimal pada hakekatnya adalah penerapan proses pembelajaran yang dilandasi oleh prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Peningkatan kadar CBSA dalam kegiatan pembelajaran, menuntut penggunaan strategi dan metode pembelajaran secara beraneka ragam. Pemilihan dan penerapan strategi bertolak dari karateristik strategi yang memungkinkan adalah "self directed" dan "inter learning". Selanjutnya, dalam rangka peningkatan Cara Belajar Siswa Aktif, anak-anak diharapkan telah mempunyai pengetahuan yang memadai; kenal akan berbagai ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Anak-anak harus terampil.

menggunakan alat-alat belajar. Anak-anak mempunyai ketrampilan dasar pembelajaran, membaca, mengamati, mampu berkomunikasi dengan baik. Dalam rangka Cara Belajar Siswa Aktif, kegiatan pembelajaran membiasakan anak untuk menggunakan berbagai sumber belajar, baik yang ada di dalam sekolah, maupun di luar sekolah. Yang dimaksud sumber belajar adalah segala sumber pesan, manusia, lingkungan dan teknik yang dapat digunakan oleh anak, baik sendiri maupun bersama-sama,untuk membantu belajarnya. Ada dua macam sumber belajar yaitu: (1) sumber belajar yang memang dikembangkan dan disiapkan untuk membantu belajar, yang merupakan komponen sistem pembelajaran, biasa disebut "resources by design". (2) sumber belajar yang tidak secara khusus untuk pembelajaran, tapi dapat digunakan untuk belajar, yang biasa disebut "resources by utilization" (Suprihadi, 1993:9). Penggunaan jenis sumber belajar tersebut mengisyaratkan, bahwa guru bukan satu-satunya sumber belajar. Dengan perancangan sumber belajar yang demikian itu akan membantu siswa untuk terbiasa belajar sendiri tanpa harus dibawah pengaruh otoritas guru. Anak diarahkan untuk mengembangkan kemampuan menggali berbagai sumber belajar di luar arahan guru, di luar buku paket dan bahkan di luar sekolah. Implikasi dari proses belajar optimal adalah nara sumber dalam belajar anak bukan semata-mata guru. Atau bahkan konsep tentang guru diperluas. Dalam pengertian ini, yang disebut guru adalah semua orang yang dapat dijadikan nara sumber dalam kegiatan belajar anak . Tentu saja akan menjadi perdebatan sebab konsep guru yang sedemikian akan mengaburkan siapa guru yang sebenarnya. Apapun sebutannya, apakah nara sumber atau juga guru, yang jelas dalam prose pembelajaran murid harus dapat menfaatkan pengetahuan, pengalaman orang sumber di luar guru kelas atau guru bidang studi. Guru bukanlah satu-satunya sumber yang menguasai segalanya. Sehubungan dengan itu, dituntut kemampuan guru untuk mengkoordinasikan orang-orang sumber tersebut agar dapat membantu belajar anak. Orang-orang sumber yang dapat dikoordinasikan untuk membantu anak dalam belajar misalnya ahli pustakawan, perawat kesehatan, penjaga musium, dokter, ahli farmasi petani dll.

Perancangan penggunaan sumber pembelajaran di atas, menuntut kemampuan profesional guru. Banyak meminta pula, pemikiran matang guru, sehingga pemanfaatan sumber-sumber belajar tersebut dapat terkoordinasikan secara relevan dengan tujuan-tujuan belajar yang akan dicapai. 5. Interaksi-Komunikasi dalam Pembelajaran Pembelajaran terwujud dalam bentuk interaksi timbal balik secara dinamis antara guru dengan siswa dan atau siswa dengan kondisionong belajarnya. Guru pada saat tertentu berposisi sebagai perangsang atau stimulasi yang memancing anak untuk bereaksi sebagai wujud aktivitasnya yang disebut belajar. Pada saat yang lain guru bereaksi atas aksi-aksi yang diperbuat anak. Interaksi diantara kedua belah pihak berjalan secara dinamis bertolak dari kondisi awal melalui titik-titik sepanjang garis kontinum hingga akhir kegiatan pembelajaran. Interaksi dinamis guru-siswa dalam pembelajaran dapat terwujud dalam berbagai bentuk hubungan. Interaksi guru-murid dapat mengambil bentuk hubungan langsung, yakni interaksi secara tatap muka. Dalam bentuknya yang lain hubungan guru-siswa bersifat tidak langsung, yakni melalui perantaraan media pembelajaran seperti paket belajar, modul pembelajaran, penyelesaian tugas-tugas terstruktur, dan sejenisnya. Di samping itu interaksi guru-siswa terealisasi pula melalui hubungan yang bersifat campuran. Meskipun guru telah memanfaatkan media pembelajaran, tetapi guru tetap hadir dalam pembelajaran. Pola arus interaksi guru-murid di kelas memiliki berbagai kemungkinan arus komunikasi. Sedikitnya menurut H.C Lindgren dalam Raka Joni (1980), ada empat pola arus komunikasi: (1) komunikasi guru-siswa searah, (2) komunikasi dua arah -- arus bolak-balik--, (3) komunikasi dua arah antara guru-siswa dan siswa-siswa, (4) komunikasi optimal total arah. Arus komunikasi dalam pembelajaran ada pula yang membedakan kedalam dua jenis, yakni one way traffic comunication dan two way traffic comunication. Pengaturan materi interaksi, dapat dibedakan dalam beberapa bentuk pengaturan. Pengaturan materi dapat dibedakan menjadi tiga sifat, yakni implisit, eksplisit, dan implikatif. Pengaturan materi secara implisit yakni pengaturan materi yang bersifat terselubung. Makna (meaning) isikomunikasi tersirat dibalik yang tersurat. Sedangkan pengaturan secara eksplisit, bila mana makna isi komunikasi, tersurat secara lahiriah atau tekstual. Sementara pengaturan secara implikatif, yakni pengaturan materi komunikasi yang maknanya hanya dapat ditemukan dari apa yang tersorot oleh proses komunikasi tersebut.

01/06/10

Matematika dan Bilangan Prima

Bilangan prima adalah dasar dari matematika, termasuk salah satu misteri alam semesta. Tidak pernah terbayangkan oleh manusia sebelumnya, sampai ditemukan bahwa bilangan prima juga merupakan dasar dari kehidupan alam, yang de­ngan usaha keras ingin dijelaskan oleh ilmu ini dalam sains.

Pandangan orang umumnya mengatakan bahwa matematika hanyalah penemuan manusia biasa. Sebaliknya, beberapa pemikir masa lalu - Pythagoras, Plato, Cusanus, Kepler, Leibnitz, Newton, Euler, Gauss, termasuk para revolusioner abad ke-20, Planck, Einstein dan Sommerffeld-yakin bahwa keberadaan angka dan bentuk geometris merupakan konsep alam semesta dan konsep yang bebas (independent). Galileo sendiri berang­gapan bahwa matematika adalah bahasa Tuhan ketika menulis alam semesta.1

Bilangan Prima dan Rencana Penciptaan

Salah satu teka-teki lama yang belum sepenuhnya terpe­cahkan adalah bilangan prima. Bilangan prima adalah bilangan yang hanya dapat habis dibagi oleh bilangan itu sendiri dan angka 1. Angka 12 bukan merupakan bilangan prima, karena dapat habis dibagi oleh angka lainnya 2, 3, dan 4. Bilangan prima adalah 2, 3, 5, 7, 11, 13, .... dan seterusnya. Banyak bilangan prima tidak terhingga. Tidak peduli berapa banyak kita meng­hitung, pasti kita akan menemukan bilangan prima, walaupun mungkin makin jarang_ Hal ini menjadi teka-teki kita, jika kita ingat bilangan ini tidak dapat dibagi oleh angka lainnya. Salah satu hal yang menakjubkan, dalam era komputer kita memberi­kan kodetifikasi semua hal yang penting dan rahasia, di bank, asuransi, dan perhitungan-perhitungan peluru kendali, security system dengan enkripsi, dalam angka jutaan bilangan-bilangan yang tidak habis dibagi oleh angka lainnya. Ini diperlukan ka­rena dengan penggunaan angka lain, kodetifikasi tadi dapat dengan mudah ditembus. Fenomena inilah yang ditemukan il­muwan dari Duesseldorf (Dr. Plichta), sehubungan dengan pen­ciptaan alam, yaitu distribusi misterius bilangan prima.

Para ilmuwan sudah lama percaya bahwa bilangan prima adalah bahasa universal yang dapat dimengerti oleh semua makhluk (spesies) berintelegensia tinggi, sebagai komunikasi dasar antarmereka. Bahasa ini penuh misteri karena berhubung­an dengan perencanaan universal kosmos.2

Bilangan lain yang perlu diketahui adalah sisa dari bilangan prima, yakni bilangan komposit, kecuali angka 1, yaitu 4, 6, 8, 9,10,12,14,15, .... dan seterusnya. Dengan kata lain, bilangan komposit adalah bilangan yang terdiri dari minimal dua faktor prima.

Misalnya :

6 = 2 x 3 = 2 . 3
30 = 2 x 3 x 5 = 2 . 3 . 5
85 = 5 x 17 = 5 . 17

Selain itu, dikenal pula bilangan khusus, yang disebut prima kembar, yaitu bilangan prima yang angkanya berdekatan dengan selisih 2. Misalnya :

(3,5), lalu (5,7), lalu (11,13), lalu (17,19), lalu (29,37), dan seterusnya.



Catatan : Angka-angka yang dicerak lebal; angka yang muncul dalam struktur al-Qur'an.

Mayoritas ahli astrofisika juga percaya bahwa di alam se­mesta terdapat "kode kosmos" atau yang disebut cosmic code based on this order, yang dikenal juga sebagai Theory of Everything (TOE), yang artinya terdapat konstanta-konstanta alam semesta yang saling berhubungan berdasarkan perintah pendesain. Sekali perintah tersebut dapat dipecahkan, maka hal ini akan membuka pandangan sains lainnya yang berhubungan.

Mayoritas ahli astrofisika juga percaya bahwa di alam se­mesta terdapat "kode kosmos" atau yang disebut cosmic code based on this order, yang dikenal juga sebagai Theory of Everything (TOE), yang artinya terdapat konstanta-konstanta alam semesta yang saling berhubungan berdasarkan perintah pendesain. Sekali perintah tersebut dapat dipecahkan, maka hal ini akan membuka pandangan sains lainnya yang berhubungan. ( Arifin Muftie, Matematika Alam Semesta )