25/04/10

Model Pembelajaran Inovatif, Bagaimana???

Makalah ini menyajikan tiga bagian pokok tentang pembelajaran, yaitu (1) Pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik, (2) Model-Model Pembelajaran, dan (3) Penutup. Model-model pembelajaran tersebut, adalah model problem solving dan reasoning, model inquiry training, model problem based instruction, model pembelajaran perubahan konseptual, model group investigation

1. Pembelajaran menurut Paradigma Konstruktivistik
Sebuah paradigma yang mapan yang berlaku dalam sebuah sistem boleh jadi mengalami malfungsi apabila paradigma tersebut masih diterapkan pada sistem yang telah mengalami perubahan. Paradigma yang mengalami anomali tersebut cenderung menimbulkan krisis. Krisis tersebut akan menuntut terjadinya revoluasi ilmiah yang melahirkan paradigma baru dalam rangka mengatasi krisis yang terjadi (Kuhn, 2002).

Paradigma konstruktivistik tentang pembelajaran merupakan paradigma alternatif yang muncul sebagai akibat terjadinya revolusi ilmiah dari sistem pembelajaran yang cenderung berlaku pada abad industri ke sistem pembelajaran yang semestinya berlaku pada abad pengetahuan sekarang ini. Menurut paradigma konstruktivistik, ilmu pengetahuan bersifat sementara terkait dengan perkembangan yang dimediasi baik secara sosial maupun kultural, sehingga cenderung bersifat subyektif. Belajar menurut pandangan ini lebih sebagai proses regulasi diri dalam menyelesikan konflik kognitif yang sering muncul melalui pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan interpretasi. Belajar adalah kegiatan aktif siswa untuk membangun pengetahuannya. Siswa sendiri yang bertanggung jawab atas peistiwa belajar dan hasil belajarnya. Siswa sendiri yang melakukan penalaran melalui seleksi dan organisasi pengalaman serta mengintegrasikannya dengan apa yang telah diketahui. Belajar merupakan proses negosiasi makna berdasarkan pengertian yang dibangun secara personal. Belajar bermakna terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif, dialog, penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, yang semuanya ditujukan untuk memperbaharui tingkat pemikiran individu sehingga menjadi semakin sempurna.

Paradigma konstruktivistik merupakan basis reformasi pendidikan saat ini. Menurut paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih mengutamakan penyelesaian masalah, mengembangkan konsep, konstruksi solusi dan algoritma ketimbang menghafal prosedur dan menggunakannya untuk memperoleh satu jawaban benar. Pembelajaran lebih dicirikan oleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-pertanyaan, investigasi, hipotesis, dan modelmodel yang dibangkitkan oleh siswa sendiri. Secara umum, terdapat lima prinsip dasar yang melandasi kelas konstruktivistik, yaitu (1) meletakkan permasalahan yang relevan dengan kebutuhan siswa, (2) menyusun pembelajaran di sekitar konsep-konsep utama, (3) menghargai pandangan siswa, (4) materi pembelajaran menyesuaikan terhadap kebutuhan siswa, (5) menilai pembelajaran secara kontekstual. Hal yang lebih penting, bagaimana guru mendorong dan menerima otonomi siswa, investigasi bertolak dari data mentah dan sumber-sumber primer (bukan hanya buku teks), menghargai pikiran siswa, dialog, pencarian, dan teka-teki sebagai pengarah pembelajaran.

Secara tradisional, pembelajaran telah dianggap sebagai bagian “menirukan”suatu proses yang melibatkan pengulangan siswa, atau meniru-niru informasi yang baru disajikan dalam laporan atau quis dan tes. Menurut paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih diutamakan untuk membantu siswa dalam menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru.

Untuk menginternalisasi serta dapat menerapkan pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik, terlebih dulu guru diharapkan dapat merubah pikiran sesuai dengan pandangan konstruktivistik. Guru konstruktivistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Menghargai otonomi dan inisiatif siswa.
2. Menggunakan data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
3. Mengutamakan kinerja siswa berupa mengklasifikasi, mengananalisis, memprediksi, dan mengkreasi dalam mengerjakan tugas.
4. Menyertakan respon siswa dalam pembelajaran dan mengubah model atau strategi pembelajaran sesuai dengan karakteristik materi pelajaran.
5. Menggali pemahaman siswa tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan sebelum sharing pemahamannya tentang konsep-konsep tersebut.
6. Menyediakan peluang kepada siswa untuk berdiskusi baik dengan dirinya maupun dengan siswa yang lain.
7. Mendorong sikap inquiry siswa dengan pertanyaan terbuka yang menuntut mereka untuk berpikir kritis dan berdiskusi antar temannya.
8. Mengelaborasi respon awal siswa.
9. Menyertakan siswa dalam pengalaman-pengalaman yang dapat menimbulkan kontradiksi terhadap hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong diskusi.
10. Menyediakan kesempatan yang cukup kepada siswa dalam memikirkan dan mengerjakan tugas-tugas.
11. Menumbuhkan sikap ingin tahu siswa melalui penggunaan model pembelajaran yang beragam.

1.1 Tujuan dan Hasil Belajar
Seirama dengan kesesuaian penerapan paradigma desain pembelajaran, tidak terlepas pula dalam penetapan tujuan belajar yang disasar dan hasil belajar yang diharapkan. Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik mendasarkan diri pada tiga fokus belajar, yaitu: (1) proses, (2) tranfer belajar, dan (3) bagaimana belajar.

Fokus yang pertama—proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk mempersepsi apa yang terjadi apabila siswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari oleh asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya siswa berkembang secara alamiah. Oleh sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan siswa ke fitrahnya sebagai manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa yang dipresentasikan oleh guru. Implikasi nilai tersebut melahirkan komitmen untuk beralih dari konsep pendidikan berpusat pada kurikulum menuju pendidikan berpusat pada siswa.

Dalam pendidikan berpusat pada siswa, tujuan belajar lebih berfokus pada upaya bagaimana membantu para siswa melakaukan revolusi kognitif. Model pembelajaran perubahan konseptual (Santyasa, 2004) merupakan alternatif strategi pencapaian tujuan pembelajaran tersebut. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran adalah suatu nilai utama pendekatan konstruktivstik.

Fokus yang kedua—transfer belajar, mendasarkan diri pada premis “siswa dapat menggunakan dibandingkan hanya dapat mengingat apa yang dipelajari”. Satu nilai yang dapat dipetik dari premis tersebut, bahwa meaningful learning harus diyakini memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan rote learning, dan deep understanding lebih baik dibandingkan senseless memorization. Konsep belajar bermakna sesungguhnya telah dikenal sejak munculnya psikologi Gestal dengan salah satu pelopornya Wertheimer (dalam Mayer, 1999). Sebagai tanda pemahaman mendalam adalah kemampuan mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi baru.

Fokus yang ketiga—bagimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih penting dibandingkan dengan apa yang dipelajari (what to learn). Alternatif pencapaian learning how to learn, adalah dengan memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam hal ini, diperlukan fasilitas belajar untuk ketarampilan berpikir. Belajar berbasis keterampilan berpikir merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana belajar (Santyasa, 2003).

Desain pembelajaran yang konsisten dengan tujuan belajar yang disasar tersebut tentunya diupayakan pula untuk mencapai hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan. Paradigma tentang hasil belajar yang berasal dari tujuan belajar kekinian tersebut hendaknya bergeser dari no learning dan rote learning menuju constructivistic learning. No learning, miskin dengan retensi, transfer, dan hasil belajar. Siswa tidak menyediakan perhatian terhadap informasi relevan yang diterimanya. Rote learning, hanya mampu mengingat informasi-informasi penting dari pelajaran, tetapi tidak bisa menampilkan unjuk kerja dalam menerapkan informasi tersebut dalam memecahkan masalah-masalah baru. Siswa hanya mampu menambah informasi dalam memori.

Constructivist learning dapat menampilkan unjuk kerja retensi dan transfer. Siswa mencoba membuat gagasan tentang informasi yang diterima, mencoba mengembangkan model mental dengan mengaitkan hubungan sebab akibat, dan menggunakan proses-proses kognitif dalam belajar. Proses-proses kognitif utama meliputi penyediaan perhatian terhadap informasi-informasi yang relevan dengan selecting, mengorganisasi infromasiinformasi tersebut dalam representasi yang koheren melalui proses organizing, dan mengintegrasikan representasi-representasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ada di benaknya melalui proses integrating. Hasil-hasil belajar tersebut secara teoretik menjamin siswa untuk memperoleh keterampilan penerapan pengetahuan secara bermakna.


1.2 Peranan Guru dalam Pembelajaran
Menurut hasil forum Carnegie tentang pendidikan dan ekonomi (Arend et al., 2001), di abad informasi ini terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh guru dalam pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki pemahaman yang baik tentang kerja baik fisik maupun sosial, memiliki rasa dan kemampuan mengumpulkan dan menganalisis data, memiliki kemampuan membantu pemahaman siswa, memiliki kemampuan mempercepat kreativitas sejati siswa, dan memiliki kemampuan kerja sama dengan orang lain. Para guru diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama dengan pengetahuan yang mereka perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi tantangan dan kemajuan sains dan teknologi. Guru tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka perlukan, di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para guru diharapkan bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen dan kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis.

Para guru diharapkan menjadi masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam. Di samping penguasaan materi, guru juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam. Apabila konsep pembelajaran tersebut dipahami oleh para guru, maka upaya mendesain pembelajaran bukan menjadi beban, tetapi menjadi pekerjaan yang menantang.

Konsep pembelajaran tersebut meletakkan landasan yang meyakinkan bahwa peranan guru tidak lebih dari sebagai fasilitator, suatu posisi yang sesuai dengan pandangan konstruktivistik. Tugas sebagai fasilitator relatif lebih berat dibandingkan hanya sebagai transmiter pembelajaran. Guru sebagai fasilitator akan memiliki konsekuensi langsung sebagai perancah, model, pelatih, dan pembimbing.

Di samping sebagai fasilitator, secara lebih spesifik peranan guru dalam pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan sebagai mediator. Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika siswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Sebagai manager, guru berkewajiban memonitor hasil belajar para siswa dan masalah- masalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, guru berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menseleksi proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan siswa. Sebagai mediator, guru memandu mengetengahi antar siswa, membantu para siswa memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah, memandu para siswa mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para siswa, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada siswa ikut berpikir kritis.

Terkait dengan desain pembelajaran, peran guru adalah menciptakan dan memahami sintaks pembelajaran. Penciptaan sintaks pembelajaran yang berlandaskan pemahaman akan mempermudah implementasi pembelajaran oleh guru lain atau oleh siswa itu sendiri. Sintaks pembelajaran adalah langkah-langkah operasional yang dijabarkan berdasarkan teori desain pembelajaran. Sintaks pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik acap kali mengalami adaptasi sesuai dengan kebutuhan. Hal ini menjadi penting untuk menyempurnakan sintaks yang rekursif, fleksibel, dan dinamis.

1.3 Penggubahan Lingkungan dan Sumber Belajar
Salah satu asas pembelajaran yang harus dipahami adalah “membawa dunia siswa ke dunia guru dan menghantarkan dunia guru ke dunia siswa”. Tujuannya, adalah untuk mengenali potensi siswa dan memberdayakan potensi tersebut sehingga melahirkan pencerahan bagi siswa itu sendiri. Alternatif upaya pemberdayaan tersebut dapat dilakukan dengan penggubahan lingkungan dan sumber belajar. Termasuk lingkungan belajar adalah sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, dan media masa. Termasuk sumber belajar adalah guru, orang tua, teman dewasa, teman sebaya, bahan, alat, dan lingkungan itu sendiri. Sumber belajar ada yang dirancang khusus untuk pembelajaran (by design) dan ada pula yang bukan dirancang khusus untuk pembelajaran, tetapi dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran (by utilization). Oleh karena pembelajaran merupakan kegiatan rekayasa supaya terjadi peristiwa belajar, maka penggubahan lingkungan dan sumber belajar di sini adalah terkait dengan upaya guru memfasilitasi siswa untuk berinteraksi dengan lingkungan dan sumber belajar tersebut. Upaya ini dilakukan baik pembelajaran harus terjadi di dalam kelas atau di luar kelas. Jika pembelajaran terjadi di kelas, sifat-sifat kelas yang cenderung multidimensi, keserentakan, kesegeraan, memunculkan kejadian yang tak dapat diramalkan harus dipahami oleh guru agar terjadi interaksi yang efektif dalam proses pembelajaran.

2. Model Pembelajaran
Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-step procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An instructional strategy is a method for delivering instruction that is intended to help students achieve a learning objective (Burden & Byrd, 1999:85).

Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1) syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).

Berikut diberikan lima contoh model pembelajaran yang memiliki kecenderungan berlandaskan paradigma konstruktivistik, yaitu: model reasoning and problem solving, model inquiry training, model problem-based instruction, model pembelajaran perubahan konseptual, dan model group investigation.

2.1 Model Reasoning and Problem Solving
Di abad pengetahuan ini, isu mengenai perubahan paradigma pendidikan telah gencar didengungkan, baik yang menyangkut content maupun pedagogy. Perubahan tersebut meliputi kurikulum, pembelajaran, dan asesmen yang komprehensif (Krulik & Rudnick, 1996). Perubahan tersebut merekomendasikan model reasoning and problem solving sebagai alternatif pembelajaran yang konstruktif. Rasionalnya, bahwa kemampuan reasoning and problem solving merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki siswa ketika mereka meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan aktivitas di dunia nyata.

Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas level memanggil (retensi), yang meliputi: basic thinking, critical thinking, dan creative thinking. Termasuk basic thinking adalah kemampuan memahami konsep. Kemampuan-kemapuan critical thinking adalah menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada masalah, mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi, mengingat dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, dan melakukan analisis dan refleksi. Kemampuan-kemampuan creative thinking adalah menghasilkan produk orisinil, efektif, dan kompleks, inventif, pensintesis, pembangkit, dan penerap ide.

Problem adalah suatu situasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawaban dan problem solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka memenuhi tuntutan situasi yang tak lumrah tersebut (Krulik & Rudnick, 1996). Jadi aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah. Kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui kemampuan reasoning.

Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah pembelajaran (Krulik & Rudnick, 1996), yaitu: (1) membaca dan berpikir (mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan seting pemecahan, (2) mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian informasi, melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar), (3) menseleksi strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan), (4) menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi, aljabar, dan geometri), (5) refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternatif pemecahan lain, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan, memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil).

Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan. Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah.

Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses berpikir dasar, kritis, kreatif, berpikir tingkat tinggi, dan strategi pemecahan masalah non rutin, dan masalah-masalah non rutin yang menantang siswa untuk melakukan upaya reasoning dan problem solving. Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah pemahaman, keterampilan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna. Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.

( Bersambung .... )

0 komentar:

Posting Komentar