27/04/11

Dasar Teori Kegiatan Pembiasaan

Sudah sejak lama para ilmuwan dan ahli pikir memperhatikan seluk beluk kehidupan anak, khususnya dari sudut perkembangannya, untuk menuju proses kedewasaannya. Anak harus tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang matang, yang sanggup dan mampu mengubah dirinya sendiri, mandiri, tidak tergantung kepada orang lain. Bahkan tidak menimbulkan masalah bagi keluarga, kelompok dan masyarakatnya.

Pada akhir abad 17 seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1632-1704) mengemukakan bahwa faktor pengalaman dan pendidikan merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan kepribadian anak, anak digambarkan secarik kertas yang masih bersih. Jadi coretan yang meninggalkan jejak kertas itu, menentukan bagaimana kertas itu jadinya. John Locke memperkenalkan teori “Tabula rasa” yang mengungkapkan pentingnya pengaruh pengalaman dan lingkungan hidup terhadap perkembangan anak. Ketika dilahirkan seorang anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsang-rangsang yang terjadi di lingkungan orang tua dan keluarga yangmenjadi lingkungan terdekat abak menjadi tokoh penting dalam mengisi “secarik kertas” yang bersih itu. Pandangan John locke ini dikenal dengan empirisme (pengalaman) atau Environment (lingkungan).

Seorang filsuf lain bernama “Jean Jacques Rousseau” (1712 – 1778 ) mengemukakan pandangan terhadap perkembangan anak yang berbeda dengan John locke. JJ Rosseau berpendapat, bahwa seorang anak ketika dilahirkan sudah mempunyai dasar-dasar kepribadian / moral yang baik. Anak mempunyai potensi dalam dirinya yang dibawanya sejak lahir, pandangan Rosseau menjadi titik tolak dari pandangan yang menitik beratkan faktor dunia dalam atau faktor keturunan sebagai faktor yang penting terhadap isi kejiwaan dan gambaran kepribadian seseorang. Karakteristik yang diperlihatkan seseorang bersifat instrinsik (munculnya dari dalam diri seseorang ) pandangan Rosseau ini terkenal dengan istilah “Nativisme”

Kedua pandangan diatas dengan saling bertolak belakang menjadi obyek pembahasaan ahli-ahli psikologi dan ahli pendidikan dengan rentang waktu relatif lama dan belum ada penyelesaian yang memuaskan semua pihak. Akhirnya pada tahun 1958 seorang psikolog wanita yang pernah menjadi presiden assasiasi psikologi Amerika bernama Anne Anastasi, mengemukakan pendapat yang mendekatkan pandangan Enpirisme dengan Nativisme. Yang sedikit banyak, telah meredakan kedua sudut pandang tersebut. Anastasi mengemukakan bahwa, pengaruh keturunan (Nativisme) terhadap perkembangan kepribadian perkembangan seseorang selaalu terjadi secara tidak langsung, tidak satupun fungsi-fungssi psikis seseorang yang secara langsung di turunkan oleh orang tuanya, pengaruh keturunan selalu membutuhkan perantara ataau perangsang yang terdapat dalam linkungan, sekalipun kenyataanya memang aada semacam tingkatan yang lebih atau kurang.

Hal itu bisa di lihat dengaan kenyataan-kenyataan sebagai berikut :
1. Latar belakang keturunan yang sama, mungkin di hasilkan ciri-ciri kepribadian yang beda pada kondisi-kondisi lingkungan yang berbeda pula
2. Latar belakang keturunan yang berbeda dan lingkungan hidup yang berbeda pula, dapat di hasilkan pola perkembangan yang sama atau hampir sama
3. Lingkungan hidup yang sama bisa menimbulkan perbedaan-perbedaan ciri kepribadian pada anak-anak yang berlainan latar belakang keturunannya
4. Lingkungan hidup yang tidak sama. Bisa menimbulkan perasaan dalam ciri-ciri kepribadian, meskipun latar belakang keturunan tidak sama.

Mengenai pengaruh lingkungan, Anastasi mengemukakan adanya faktor segmental, yakni ada kalanya berlangsung dalam satuan waktu yang singkat, ada kalanya berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Ada masa-masa dimana pengaruh lingkungan yang sangat kecil, dan sebaliknya ada masa-masa dimana pengaruh lingkungan yang sangat besar, pada peristiwa traumatis (goncangan jiwa) bisa menjadi contoh dimana terjadi dalam waktu relektif singkat, tapi pengaruhnya bisa sangat lama, atau bahkan menetap dan tidak bisa di perbaiki lagi.

Mengenai hubungan faktor keturunan dan faktor lingkungan Anastasi mengemukakan : Faktor lingkungan dan faktor konstitusi menjadi sumber dari timbulnya setiap perhubungan tingkah laku dan Faktor ini tidak bisa berfungsi terpisah melainkan saling berubungan

Interaksi kedua faktor (keturunan dan lingkungan) di kemukakan juga oleh sedang ahli keturunan benua T. Dobzhansky, ia menerangkan bahwa, ketika terjadi konsepsi dan tercipta individu baru, terjadi penggabungan kromosom dari pihak ibu dan kromosom dari pihak ayah. pada kromosom an ini banyak sekali faktor keturunan. Faktor keturunan ini mengikiuti hukum-hukum tertentu yang mewajibkan ciri ciri khusus, baik ciri-ciri fisiknya maupun segi karakterologisnya. Pada waktu terjadinya konsepsi, anak akan memperoleh faktor-faktor yang diturunkan yang disebut dengan istilah “Genotip” menurut para ahli, genotip ini jumlahnya lebih dari 70 triliun. Dan karena itulah tidak akan ada dua manusia yang mempunyai komposisi genotip yang sama genotip adalah sesuatu yang ada, yang diperoleh sejak dari konsepsi dan merupakan kerangka yang akan menjadi sesuatu, tetapi tidak semua akan menjadi aktual, berkembang menjadi sesuatu dalam lingkungan tertentu genotip ini akan menjadi sesuatu yang terlihat diluar, yang disebut Fenotip. Munculnya fenotip dari genotip bergantung dari lingkungan yang saling mempengaruhi dengan demikian, apa yang diperoleh ketika terjadi konsepsi dan ketika dilahirkan merupakan suatu kerangka yang memberi kemungkinan-kemungkinan atau menjadi suatu potensi yang berkembang menjadi suatu ciri kepribadiannya.

Dari uraian diatas jelas kiranya faktor keturunan atau faktor genotip saja tidak menentukan munculnya suatu tingkah laku, karena ada faktor lain yaitu ligkungan dimana anak berkembang. Tujuan dari memperkembangkan arah (salah satu dengan latihan pembiasaan) adalah memunculkan sesuatu yang secara genotip dimiliki anak dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin.

Tujuan dari mendidik anak di keluarga dan di sekolah antara lain adalah memunculkan kemampuan-kemampuan dengan sebaik-baiknya dalam kerangka batas yang telah dimiliki anak, kecuali itu anak adalah pribadi yang aktif yang harus dipertimbangkan dalam setiap usaha memperkembangkannya pandangan-pandangan yang menempatkan anak pada peranan aktif dalam usaha perkembangannya disebut pandangan “Organismik”.

Diantara tokoh yang mempunyai pandangan organismik dalam psikologi perkembangan adalah Erikson dan J-Piaget. Inti dari pandangan organismik adalah pada setiap tingkatan atau pertahapan perilaku baru, akan muncul sesuatu yang baru, yang berbeda secara kualitatif dengan apa yang ada pada tingkatan atau pertahapan perkembangan sebelumnya. Perilaku baru yang muncul pada tingkatan atau pertahapan baru ini adalah hasil dari aktivitas anak dalam perkembangannya. Juga dikenal dengan istilah Epignesis.

Contoh dalam hal ini adalah : ketika anak umur 1 tahun yang diperlihatkan abak adalah tingkah laku motorik sederhana dan kemampuan-kemampuan mentalnya masih terbatas pada reaksi-reaksi atau jawaban jawaban terhadap rangsang. Ketika anak berumur 2 tahun, anak memperlihatkan kemajuan dan kemampuan baru yang belum dimiliki sebelumnya, misal pada perbendaharaan kata yang meningkat, motorik meningkat dan anak mulai bisa melihat suatu simbol (konsep) yang sifatnya Representatif. Kemampuan yang baru ini merupakan interaksi antara faktor keturunan (genotip) dengan faktor lingkungan, disamping aktivitas dari anak itu sendiri.

Dari pandangan-pandangan yang diurai diatas bisa dijelaskan tentang perkembangan perilaku, budi pekerti (moral) pada seorang anak yang merupakan perilaku yang dikembangkan lewat pendidikan dan pembiasaan. Ketika lahir seorang anak tidak membawa nilai moral. Para ahli psikologi sepakat bahwa nilai, budi pekerti (moral) sebagai yang berkembang dan dikembangkan (dibiasakan). Sekalipun dalam menerangkan mempergunakan teori yang berbeda, para ahli psikologi analisa melihat bahwa perkembangan budi pekerti dipandang sebagai proses interalisasi dari norma-norma masyarakat dan adanya kematangan dari sudut organik-biologik. Bagi para ahli teori belajar perkembangan budi pekerti dipandang sebagai hasil rangkaian rangsang jawaban yang dipelajari anak keduanya tidak bertentangan dalam mengemukakan konsepnya bahwa seseorang memperlihatkan budi pekerti, jika perilakunya sesuai dengan aturan-aturan yang ada di lingkungannya, (keluarga, sekolah dan masyarakat). Dengan kata lain berkembangnya budi pekerti (moral) bersangkut paut dengan bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam lingkungan hidupnya. Seseorang dikatakan membiasakan aspek budi pekerti (moral) bilamana ia telah menginternalisasi atau telah mempelajari aturan-aturan atau kaidah-kaidah dari kehidupan di lingkungannya, dan bisa memperlihatkan dalam kebiasaannya sehari-hari (perilaku yang terus menerus dan bersifat menetap).

Perkembangan budi pekerti selalu terjadi melalui interaksi sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak khusus dimana faktor pribadi dalam aktifitas anak ikut berperan. Karena ada aktifitas anak, untuk mencapai kemungkinan yang tertinggi dari tahapan perkembangan moral (baca budi pekerti) anak harus dirangsang agar anak lebih aktif dan muncul dalam perilakunya (kebiasaannya).

Timbulnya konflik dalam menghadapi sesuatu tindakan yang berhubungan dengan nilai moral disatu pihak dan dipihak lain dorongan yang tepat dari orang biasa, akan lebih merangsang anak untuk berusaha menentukan langkah yang akan dilakukan sebaik-baiknya. Dengan cara ini seorang anak akan memperkembangkan nilai moralnya setahap demi setahap, yang akan menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi bagian dari kepribadiannya. Sebagaimana pendapat seorang ahli psikologi yaitu Kohlberg. Yang mengatakan bahwa perkembangan nilai moral tidak berlaku tehnik pasif, melainkan anak yang aktif harus dirangsang oleh lingkungan dengan usaha-usaha yang aktif pula, dengan kata lain anak yang sudah aktif di dorong untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma dilingkungannya, agar menjadi kebiasaannya dan selanjutnya menjadi bagian dari kepribadiannya.

Berikut akan diuraikan tentang faktor lingkungan (eksternal) yang memberikan rangsang terbentuknya perilaku yang akhirnya bisa mendorong seseorang anak membiasakan dalam kehidupannya. Dalam uraian dimuka bahwa John locke telah mengemukakan teori tabula rasa, sejak saat itu banyak ahli yang membahas tentang pentingnya peranan rangsang yang berasal dari lingkungan, seperti para ahli ilmu Faal, mampu memperlihatkan bahwa timbulnya suatu tingkah laku berasal dari pertautan antara satu refleks dengan refleks yang lain, dan refleks adalah jawaban terhadap datangnya rangsang dari luar, setiap pertautan yang terjadi menyusun reaksi yang seterusnya, menjadi gerakan-gerakan yang terarah, dirangsang oleh aliran Beharisme pada permulaan abad ini. Banyak ahli melakukan percobaan untuk memperkuat pendapatnya, bahwa faktor lingkungan adalah variable-variable yang bisa diubah-ubah untuk mempengaruhi perubahan-perubahan dan tentunya arah dari perkembangan-perkembangan yang diharapkan. Dilingkunganlah yang terdapat sumber-sumber rangsangan yang mempengaruhi perkembangan anak. Mempengaruhi sebagian atau bahkan keseluruhan ciri-ciri kepribadian yang akan dibentuk. Dari sudut pendidikan faktor lingkungan dianggap sangat penting sesuai dengan peranan seseorang pendidik yang bercita-cita menanamkan pengertian-pengertian baru pada anak. Sehubungan dengan rangsang-rangsang yang berasal dari lingkungan yang mempengaruhi perkembangan-perkembangan anak, ada dua hal penting yakni :
1. Bahwa dalam proses perkembangan ada saat-saat ketika anak siap untuk disempurnakan dengan rangsangan-rangsangan yang tepat. Keadaan semacam ini disebut dengan masa kritis. Masa yang peka dimana harus terjadi perangsangan agar perkembangan selanjutnya berlangsung dengan baik, kalau pada masa kritis tidak memperoleh rangsangan dengan baik misalnya dalam bentuk pelatihan atau proses belajar tertentu. Maka selanjutnya akan mengalami kesulitan, maka itulah disebut masa kritis.
2. Bahwa masa perkembangan pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya adalah masa-masa yang penting untuk pembentukan dasar-dasar kepribadian seorang anak. Pada teori psiko analisa. Baik S. Feut sendiri maupun E. ericson mengemukakan ( dengan orientasinya yang patologis) Pentingnya anak memperoleh dasar-dasar yang baik pada masa-masa permulaan dari kehidupan anak, agar kelak setelah dewasa tidak mengalami gangguan-gangguan emosi atau gangguan kepribadian yang berarti. Menurut Ericson tahun-tahun pertama dari kehidupan anak penting sekali untuk menanamkan dasar mempercayai orang lain. Seorang anak yang tidak mengalami dan memperoleh kasih sayang dan kepuasan-kepuasan dari kebutuhannya, akan mengalami kegagalan memperkembangkan kepercayaan kepada orang lain dan oleh karena itu akan mengganggu hubungan-hubungan sosialnya di kemudian hari.

Seperti itulah gambaran pentingnya rangsang-rangsang yang berasal dari lingkungan atau dari luar terhadap perkembangan kepribadian anak. Dapat ditekankan bahwa perkembangan kepribadian anak menjadi tanggung jawab kita bersama bukan saja orang tua dan pendidik tapi menjadi tanggung jawab seluruh masayarakat, bangsa dan negara.

0 komentar:

Posting Komentar